Jeda

Dalam setiap kegiatan, tidak ada yang bisa berlangsung terus menerus. Kita memerlukan jeda. Belajar perlu jeda, bekerja perlu rehat kopi, berpikir perlu istirahat mengurai keruwetan dan juga main game juga tidak bisa lama-lama. Sekuat-kuatnya manusia, harus ada jeda. Karena itu sekolah ada masa liburan, perkuliahan ada masa libur semester dan mengajarpun perlu berhenti sejenak.

Dalam sistem akademis dosen-dosen sebaiknya mengambil masa “sabbathical” dimana akademisi perlu jeda sejenak dari kegiatan rutinnya dan menyediakan waktu untuk melakukan “rechargement” terhadap ilmunya dan melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dijalani selama ini. Kegiatan ini bisa diisi dengan riset singkat di sebuah tempat yang sudah dikenal, melakukan projek bersama dengan tuan rumah di universitas tertentu di luar negeri, menjalin kerjasama lanjutan yang juga menguntungkan kedua institusi, dan sebagainya. Dari cuti sabbathical ini kadang dihasilkan sebuah buku atau dua buah paper bersama, dan suasana baru yang dijalani juga membuat selingan yang baik untuk karir akademisi.

Jeda menulis kadang juga diperlukan jika segala sesuatu menjadi terlalu ruwet karena sumber dan interaksi yang bertambah. Menulis di media sosial juga bisa menemukan titik jenuh karena setiap saat harus bercerita dan suatu saat tidak ada lagi yang dapat diceritakan. Dunia hiburan juga demikian, panggung dapat kehilangan penonton jika sajian tidak berubah dan membuat bosan. Harus ada waktu yang ditinggalkan, sekaligus untuk mengetahui apakah diri kita tetap dirindukan atau tidak.

Jeda adalah anugerah, ada banyak hal dapat direfleksikan dari sana. Untuk memperbaiki kesalahan, untuk menyusun langkah-langkah baru, untuk membuat fokus dapat diraih kembali. Jeda memang kita perlukan. Mari memikirkan itu.

Salam hangat selalu,

SW

2 Replies to “Jeda”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *